Friday 2 June 2017

Bolehkah Pemimpin Non Muslim

  Dimana ada pesawat terbang pastilah ada pilot yang mengendalikannya. Dimana ada kapal berlayar pastilah ada sang nahkoda yang mengkomandoi kapal tersebut. Seperti itulah konsep kepemimpinan di dunia ini. Setiap negeri di dunia ini tak lepas dari sosok sang pemimpin yg mengendalikan roda pemerintahan di negeri tersebut.
  Sunnah illahi menetapkan bahwa setiap makhluknya ini pasti ada pemimpin dan ada yang dipimpin. Maksud utama dari sunnah illahi tersebut agar tidak terpecah belah pendapat atau kemauan masing-masing golongan tersebut. Dengan adanya seorang pemimpin, umat tersebut dapat mengadukan permasalahan yang mereka hadapi. Ketiadaan pemimpin dalam suatu kaum dapat diibaratkan seperti orang yang menaiki kuda liar di siang hari, meloncat kesana kemari tanpa mengerti arah tujuannya.dan dikala malam bagaikan orang yang bepergian seorang diri di dalam hutan lebat dan sekelilingnya serba gelap gulita. Ia pun bingung kemanakah jalan yang hendak di tempuh agar keluar dari situ. Suatu kaum yang tidak ada pemimpinnya pastilah akan menjadi hancur lebur, karena semuanya merasa ingin menang sendiri dan tidak mau diperintah oleh yang lain.
  Karena itulah diperlukan sosok pemimpin/imam yg dapat mengatur dalam suatu kaum. Keberadaan imam ini mutlak dan penting adanya berdasarkan akal dan syara' (atau dalam bahasa filmnya biasa disebut dengan wajib bil aqli au bissyar'i) seperti yang dipaparkan di atas.
Di negeri Indonesia ini, roda pemerintahan dikendalikan oleh presiden yang dibantu oleh wapres, para menteri dan lainnya atau yang biasa disebut pemerintah. Lantas siapakah pemerintah itu sebenarnya?
  Pemerintah/Ulil Amri adalah orang yang diberi mandat mengurusi urusan-urusan yang bersifat umum dan kemaslahatan yang bersifat penting. Termasuk kategori Ulil Amri adalah setiap orang yang bertugas mengatur umat Islam seperti raja, Perdana menter, presiden, walikota pengatur ketertiban dan prajurit (al adab an-nabawi)
  Membetuk pemerintahan adalah sebagai media, bukan sebagai tujuan akhir, yaitu media untuk melaksanakan amar m'ruf nahi munkar. Untuk merealisasikan tujuan tersebut tidak akan berjalan maksimal kecuali dengan mengangkat seorang imam untuk ummat Islam (al imamah al a'dhomi :158)
  Lantas bagaimana jika dalam suatu negeri yang penduduknya minoritas Muslim dan yang menjadi pemimpinnya adalah non muslim, apakah umat Islam wajib taat terhadap pemimpin tersebut? Dan bagaimana hukumnya memberontak pemimpin yang sah kepempimpinannya?
  Imam maududi mensyaratkan untuk menjadi seorang pemimpin harus memenuhi empat hal berikut:
Pertama, harus orang Quraisy, selain orang Quraisy tidak bisa.
Kedua, merdeka, dewasa, berakal, berilmu dan adil.
Ketiga, ahli politik dan ahli dalam melaksanakan banyak hal.
Keempat, Paling utama dalam hal ilmu dan agama diantara sekian banyak rakyat (al amaududi :20)
  Dari keempat syarat tersebut, terdapat syarat yang masih janggal yakni syarat pertama. Jika pemimpin disyaratkan harus orang Quraisy, maka mustahil dilakukan. Karena tidak semua negeri terdapat orang Quraisy. Maka dari itu, sebagian ulama' ada yang berpendapat bahwa syarat u untuk menjadi pemimpin harus syaja'ah (berani) karena pada gholibnya orang-orang Quraisy betani-berani.
  perlu tegas kan  lagi bahwa keempat item tadi merupakan madlinnah (empat harapan kuat) seorang imam itu baik,jujur, dapat dipercaya yang selanjutnya bisa menghantarkan rakyat Pada tujuan awal tadi. Semakin terpenuhi dengan syarat-syarat tersebut, semakin dekat menuju masyarakat adil dan makmur.
  Imam abdul hamid as-syarwani menegaskan, jika sebuah kemaslahatan menuntut agar melantik pemimpin dari kalangan non muslim untuk mengurusi urusan-urusan yang tidak bisa dilakukan oleh kalangan umat Islam atau orang Islam yang dapat mengurusi perkara tersebut jelas-jelas berkhianat, sedangkan orang yang mempunyai amanah hanyalah orang non muslim sekalipun amanah nya timbul dari rasa takut kepada penguasa (pemimpin), Maka diperbolehkan melantik pemimpin dari kalangan non muslim berdasarkan keadaan dlorurot dan bagi orang yang mengangkat nya wajib mengawasinya dan mencegah agar didalam memimpin tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan umat Islam (hawasyi as-syarwani :73-74)
  Jadi semuanya adalah kembali kepada kesejahteraan atau kemaslahatan rakyat. Berdasarkan pada qoidah:

Artinya:"kebijakan pemimpin terkait erat dengan kemaslahatan rakyatnya". Qoidah ini telah dijelaskan oleh imam Syafi'i dengan perkataannya "kedudukan pemimpin terhadap rakyatnya seperti kedudukan pengurus anak yatim terhadap anak yatim yang diasuhnya" sedangkan dasar qoidah ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh sa'id bin mansur didalam kitab Sunnahnya, ia berkata: "kita mendapat kabar dari abu al-ahwas dari abi ishaq al barra' bin azib, ia berkata sahabat Umar berkata:"sesungguhnya saya menempatkan diriku dari harta Allah seperti kedudukan pengurus anak yatim, apabila saya butuh saya mengambilnya dan apabila saya telah mampu maka saya mengembalikannya dan apabila saya berkecukupan maka saya menjaganya" (al asybah wan nadhoir :83)
  Lantas bagaimana jika kelompok yang menentang terhadap pemimpin yang sah kepempimpinannya??
  Ibnu arofah al maliki menjelaskan bahwa orang yang telah ditetapkan kepempimpinannya pada selain bentuk maksiat dengan cara pertikaian walaupun berdasarkan penakwilan(alasan) dikategorikan sebagai bughot(pemberontak) dan hukumnya​ adalah haram ( al fiqhu al islami wa adillatuhu/6 : 142)
  Maka dari itu, jika ada kelompok yang menentang terhadap pemimpin yang sah dapat dikategorikan sebagai bughot (pemberontak). Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bersabda:


Atinya: "barang siapa melepaskan tangannya dari menaati imamnya, maka sesungguhnya ia akan datang kelak di hari kiamat dalam keadaan tidak mempunyai argumentasi (hujjah) yang membenarkan dirinya. Dan barangsiapa meninggal dunia dalam keadaan memisahkan diri dari jamaah maka dia meninggal dunia seperti meninggal di masa jahiliyyah".
Memang idealnya menjadi pemimpin adalah seorang muslim yang bisa menjadi madlinnah dan hal-hal yang telah disebutkan tadi. Namun juga tidak bisa menjadi alasan seorang non muslim tidak boleh menjadi pemimpin. Apalagi Indonesia ini bukanlah negeri Islam, melainkan negara Pancasila yang semuanya berlandaskan oleh hukum. Oleh karena itu mengangkat pemimpin non muslim hukumnya sah-sah saja, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam.

0 comments:

Post a Comment